Acara sudah rampung tergelar, juara sudah ditentukan, sekali lagi bukan Indonesia. Walaupun begitu tiada sesal diri ini selalu mendukung timnas garuda, terlebih lagi menyaksikan leg final kedua yang sangat heroik dan indah.
Sepak terjang timnas di awal putaran kejuaraan ini sangat gilang gemilang, bagaimana tidak semua lawan di penyisihan grup ditumpas habis, tak terkecuali Thailand, tim terkuat di Asia Tenggara. Prestasi dasyat timnas itu dan permainan ciamik si ganteng Irfan Bachdim, mejadikan timnas sebagai menu utama perbincangan publik, di kantor, sekolah, warung kopi, tukang sayur dan tempat keramaian lainnya. Si entong pun mendadak ingin menjadi Irfan Bachdim dan merengek ke emaknya minta dibelikan seragam timnas bernomor 17. Dan lebih dari itu, bersamaan dengan sorak sorai lagu garuda didadaku rasa bangga sebagai orang Indonesia semakin menyeruak ke dalam hati.
Akhirnya Indonesia bergegas ke babak akhir, setelah di semifinal laskar garuda menaklukan the Azkals, kali ini El loco pahlawannya, pemain yang menjawab “Indonesia”, ketika di tanyakan asalnya oleh Presiden. Di leg pertama sundulan pisangnya merobek jala Etheridge. Sebenarnya gol ini buah kesalahan bek Filipina, namun tanpa disertai skill penempatan diri dan sundulan yang memadai El loco, Indonesia mungkin tidak akan berada di final. Di leg kedua El loco lebih gila lagi, tendangan geledek kaki kirinya menghujam sudut kanan atas gawang Etheridge, saking hebatnya tendangan itu komentator startsport sampai mengatakan “no chance!”, maksudnya tidak ada kesempatan bagi penjaga gawang menghalau tembakan itu, sekalipun sekaliber si black spider Lev Yashin, intinya bukan penampilan Etheridge yang cacat, namun tembakan Gonzales yang terlalu luar biasa.
Harapan mengecap gelar juara membumbung tinggi di benak warga Indonesia, pasalnya lawannya di final adalah teman serumpun Malaysia, yang pernah dikalahkan di awal putaran. Penampilan Indonesia memang meroket, tetapi Malaysia perlahan tapi pasti menunjukan grafik permainan yang membaik dan jangan lupa Sea Game terakhir mereka pula lah juaranya. Mimpi menjadi kenyataan, malam sebelumnya Saya bermimpi laskar garuda takluk 2-0 dan nyatanya takluk 3 gol tanpa balas. Harapan juara memang menipis, namum api cinta supporter terhadap timnas tetap menyala hebat, Riedl pun mengakui tidak ada supporter sehebat di Indonesia. Bak gayung bersambut, kecintaan supporter dibalas dengan penampilan spartan timnas di leg kedua, efek negatif kekalahan 3-0 di leg pertama tiada berbekas. Hebat juga si “Mr. no smile” ini bisa membangkitkan tim dari kekalah menyakitkan itu, makin tambah kekaguman Saya kepadanya. Malaysia pun bermain sama baiknya, kalau bukan karena ketegaran para pemainnya dalam bertahan, mungkin lima kali bola bisa bersarang di gawang.
Yang membuat Saya selalu tersenyum menyaksikan pertandingan final leg kedua bukanlah teknik-teknik yang ditampilkan pemain, namun sikap, mental timnas dan supporter pada pertandingan leg kedua tersebut. Pemain terus berlari sepanjang 90 menit, semangat juang Bustomi, Nasuha, dan pemain lainnya sangat luar biasa dan tidak padam sepanjang pertandingan. Semangat juang ini juga disertai sikap sportif dan menghargai lawan, lihatlah bagaimana Bustomi dengan tulus mengakui kesalahannya kepada pemain lawan dan wasit ketika melakukan tackling keras, atau Bambang yang berbincang dan memberi selamat kepada Saffe ketika Ia ditarik keluar, sungguh sebuah sikap yang professional, fair dan berkelas. Supporter tak kalah hebat, tak ada aksi balas dendam menggunakan sinar laser atau pakaian dalam wanita dan ketika laskar garuda sempat tertinggal gol Safee, supporter tetap setia mendukung. Usaha itu membuahkan hasil juga, dua gol balasan tercipta melalui Nasuha dan Ridwan. Kedua gol itu tidak cukup untuk mengantar timnas menjadi juara, walaupun begitu semuanya telah berjuang sesungguh-sungguhnya dan sehormat-hormatnya. Apa yang telah mereka tampilkan lebih bernilai dari titel juara itu sendiri. Salut kepada timnas dan selamat kepada Malaysia.