Acara sudah rampung tergelar, juara sudah ditentukan, sekali lagi bukan Indonesia. Walaupun begitu tiada sesal diri ini selalu mendukung timnas garuda, terlebih lagi menyaksikan leg final kedua yang sangat heroik dan indah.

Sepak terjang timnas di awal putaran kejuaraan ini sangat gilang gemilang, bagaimana tidak semua lawan di penyisihan grup ditumpas habis, tak terkecuali Thailand, tim terkuat di Asia Tenggara. Prestasi dasyat timnas itu dan permainan ciamik si ganteng Irfan Bachdim, mejadikan timnas sebagai menu utama perbincangan publik, di kantor, sekolah, warung kopi, tukang sayur dan tempat keramaian lainnya. Si entong pun mendadak ingin menjadi Irfan Bachdim dan merengek ke emaknya minta dibelikan seragam timnas bernomor 17. Dan lebih dari itu, bersamaan dengan sorak sorai lagu garuda didadaku rasa bangga sebagai orang Indonesia semakin menyeruak ke dalam hati.

Akhirnya Indonesia bergegas ke babak akhir, setelah di semifinal laskar garuda menaklukan the Azkals, kali ini El loco pahlawannya, pemain yang menjawab “Indonesia”, ketika di tanyakan asalnya oleh Presiden. Di leg pertama sundulan pisangnya merobek jala Etheridge. Sebenarnya gol ini buah kesalahan bek Filipina, namun tanpa disertai skill penempatan diri dan sundulan yang memadai El loco, Indonesia mungkin tidak akan berada di final. Di leg kedua El loco lebih gila lagi, tendangan geledek kaki kirinya menghujam sudut kanan atas gawang Etheridge, saking hebatnya tendangan itu komentator startsport sampai mengatakan “no chance!”, maksudnya tidak ada kesempatan bagi penjaga gawang menghalau tembakan itu, sekalipun sekaliber si black spider Lev Yashin, intinya bukan penampilan Etheridge yang cacat, namun tembakan Gonzales yang terlalu luar biasa.

Harapan mengecap gelar juara membumbung tinggi di benak warga Indonesia, pasalnya lawannya di final adalah teman serumpun Malaysia, yang pernah dikalahkan di awal putaran. Penampilan Indonesia memang meroket, tetapi Malaysia perlahan tapi pasti menunjukan grafik permainan yang membaik dan jangan lupa Sea Game terakhir mereka pula lah juaranya. Mimpi menjadi kenyataan, malam sebelumnya Saya bermimpi laskar garuda takluk 2-0 dan nyatanya takluk 3 gol tanpa balas. Harapan juara memang menipis, namum api cinta supporter terhadap timnas tetap menyala hebat, Riedl pun mengakui tidak ada supporter sehebat di Indonesia. Bak gayung bersambut, kecintaan supporter dibalas dengan penampilan spartan timnas di leg kedua, efek negatif kekalahan 3-0 di leg pertama tiada berbekas. Hebat juga si “Mr. no smile” ini bisa membangkitkan tim dari kekalah menyakitkan itu, makin tambah kekaguman Saya kepadanya. Malaysia pun bermain sama baiknya, kalau bukan karena ketegaran para pemainnya dalam bertahan, mungkin lima kali bola bisa bersarang di gawang.

Yang membuat Saya selalu tersenyum menyaksikan pertandingan final leg kedua bukanlah teknik-teknik yang ditampilkan pemain, namun sikap, mental timnas dan supporter pada pertandingan leg kedua tersebut. Pemain terus berlari sepanjang 90 menit, semangat juang Bustomi, Nasuha, dan pemain lainnya sangat luar biasa dan tidak padam sepanjang pertandingan. Semangat juang ini juga disertai sikap sportif dan menghargai lawan, lihatlah bagaimana Bustomi dengan tulus mengakui kesalahannya kepada pemain lawan dan wasit ketika melakukan tackling keras, atau Bambang yang berbincang dan memberi selamat kepada Saffe ketika Ia ditarik keluar, sungguh sebuah sikap yang professional, fair dan berkelas. Supporter tak kalah hebat, tak ada aksi balas dendam menggunakan sinar laser atau pakaian dalam wanita dan ketika laskar garuda sempat tertinggal gol Safee, supporter tetap setia mendukung. Usaha itu membuahkan hasil juga, dua gol balasan tercipta melalui Nasuha dan Ridwan. Kedua gol itu tidak cukup untuk mengantar timnas menjadi juara, walaupun begitu semuanya telah berjuang sesungguh-sungguhnya dan sehormat-hormatnya. Apa yang telah mereka tampilkan lebih bernilai dari titel juara itu sendiri. Salut kepada timnas dan selamat kepada Malaysia.

Ini pengalaman kedua kalinya ditilang Pak polisi, namun kali ini kejadiannya unik juga. Jadi tadi sore menjelang magrib gw pulang dari Plaza Mandiri menuju rumah di Rawa Belong. Bermaksud memperpendek jarak tempuh akhirnya gw memilih lewat SCBD terus ke sudirman daripada lewat gatsu. Tapi karena gw ga tau daerah SCBD akhirnya gw nyasar, keluar2 bukannya di sudirman malah di senopati. Yaudah akhirnya gw ikutin jalan itu aja, sambil berharap tembus di Sudirman.

Terus ngikutin Jalan Senopati sampailah gw di percabangan senopati yang ke sudirman sama ke pattimura, sialnya kedua percabangan jalan itu ada rambu-rambu yang bergambar bapak2 naek motor terus gambarnya dicoret secara diagonal. Waduh kejebak nih, dalam hati gw, tapi apa boleh lanjut aja gw ambil percabangan ke sudirman, karena kebetulan di depan gw ada motor yang ngambil jalan itu juga, jadi gw berpikir mungkin rambu-rambunya salah pasang atau gimana(walaupun sebenernya ga mungkin salah pasang, tapi ketika gw dalam kondisi salah dan kepepet, pikiran tentang pembenaran yang tidak mungkinpun seringkali muncul tanpa disadari).

Setelah mengambil cabang jalan tadi, sampailah gw di stopan sudirman-senopati-sisingamangaraja yang ada patung pemuda membangun. Pas di stopan hati gw rada tenang, karena ternyata dibelakang gw ada satu motor lagi yang ngambil jalan yang sama. Namun selang beberapa detik kemudian, tiba-tiba ada Pak Polisi yang berjalan dari pos polisi di ujung jalan sisingamangaraja menuju jalan senopati. Rada berdesir juga sebenernya, namun gw tetap berpikiran positif, mungkin Bapak Polisi ini mau melaksanakan tugasnya ngatur2 jalan, tapi loh2 kok dia nyamperin motor di depan gw, berapa detik kemudian giliran gw diminta SIM dan STNK, dan tidak ketinggalan om-om (kenapa om-om karena umurnya sekitar 30-40, kalo 40-60 gw manggilnya bapak-bapak, diatas itu kakek-kakek) dibelakang gw juga kena. Awalnya gw kira cuma pemeriksaan surat-surat dan sebenernya gw masih berharap rambu2nya beneran salah pasang, eh ga taunya abis diambilin SIM dan STNK nya kami di suruh ke pos polisi.

Sampai di pos polisi, kami menunggu giliran untuk diinterogasi atau lebih tepatnya bernegosiasi(untuk sebagian orang). Kebetulan gw yang pertama, bersyukur juga,  karena mungkin bisa cepet beres. Terjadilah dialog antara gw dan polisi yang tadi minta surat2, gw sebut disini beliau sebagai polisi junior.

Polisi Junior : Bapak tadi berada di jalur cepat, memangnya Bapak tidak melihat rambu-rambu.

Halim : Oh iya Pak, Saya baru pertama kali lewat jalan itu, dan sebenernya tadi Saya lihat rambu-rambu, terus Saya bingung, dikedua cabang jalannya ada rambu-rambu.

Polisi junior : Bapak salah lihat berarti, harusnya Bapak ke kiri(ke Jalan Pattimura) baru memutar ke arah Sudirman.

Halim : ngangguk2 (mungkin gw emang salah lihat tadi)

Polisi Junior : Bapak siap disidang tanggal 11

Halim : (widih keren nih polisi langsung nawarin sidang, tapi ga mungkin lah sidang, baru kerja dua bulan udah izin, buat sidang lagi, ga keren banget izinnya), hmmm kalo slip biru aja gimana Pak?

Polisi Junior : Kalo slip biru bayarnya 500 ribu Pak, kalo sidang mungkin bisa 150-500 ribu

Halim : (mahal banget, tapi biarin deh daripada sidang seharian terus repot ngurus izin, paling beda-beda dikit akhirnya, itung2 aja amal ke negara) iya gapapa Pak slip biru aja

Polisi Junior : Beneran Pak, Bapak ga sayang , tidak mau diselesaikan di sini saja

Halim : (langsung rasa respek gw ke polisi itu runtuh seketika) ngga deh Pak, Saya udah melanggar peraturan, masa sekarang melanggar lagi.

Polisi Junior : Ya peraturan itu bisa disesuaikan dengan kondisi dan situasi.

Halim : (Buset dah ini yang polisi gw apa dia, dasar polisi junior) ngga deh Pak, Saya mau slip biru aja

Polisi Junior : Oke, Bapak tunggu ya

Yasudah akhirnya gw nunggu sampai tersangka yang lain selesai bernegosiasi. Setelah selesai bernegosiasi polisi junior itu keluar pos, mungkin mencari pelanggar lalulintas lagi. Tak berapa lama datanglah polisi yang lebih senior, terus gw diinterogasi lagi.

Polisi Senior : Bapak, sekarang kami lagi operasi jadi tidak bisa mengeluarkan slip biru.

Halim : (Maksudnya apa ya hubungan operasi sama ga bisa ngeluarin slip biru) hah maksudnya Pak?

Polisi Senior :  Iya jadi kemarin kita sudah sosialisasi peraturan, terus sekarang kita operasi untuk penertiban lalulintas.

Halim : (Makin ga ngerti gw, bodo amat deh) berarti harus sidang ya Pak?

Polisi Senior : Iya

Halim : Yaudah deh Pak sidang aja

Halim : diam……

Polisi senior : diam…..

Polisi senior : (sambil ngutak-ngutik hapenya) bentar ya Pak.

Halim : Oh iya Pak gapapa

Gw liat jam dinding menunjukakan pkl 18:15 WIB, belum solat magrib pula lagi, akhirnya gw minta izin ke Bapaknya buat solat. Bapak polisinya ngizinin, terus si Bapaknya ke luar pos. Berapa menit kemudian pas gw mo wudu Bapak Polisi seniornya tiba-tiba datang.

Polisi Senior : Ini Pak STNK dan SIM nya, sekarang masih bisa dimaklumi lain kali jangan diulangi ya Pak.

Halim : Oh beneran Pak gapapa

Polisi Senior : Iya gapapa, tapi lain kali jangan diulangi

Halim : Iya Pak, terimakasih, tapi Saya numpang solat dulu ya Pak

Polisi Senior : Oh iya silahkan

Setelah itu gw solat magrib dan balik, sebelum balik si Pak Polisinya bilang, “Sebenernya Saya bisa saja nilang Bapak, tapi anggap saja ini rezeki Bapak”.

Seorang teman pernah bertanya, “Bagaimana hidup menurut Kamu?”. Saya menjawab, “Hidup itu seperti menulis buku cerita”. Istimewanya dalam hal ini penulis buku merangkap menjadi tokoh utama.

Sebagian besar tokoh utama umumnya menginginkan cerita yang menyenangkan dan membahagiakan di sepanjang cerita yang disajikan dalam tiap lembar buku. Namun penulis buku tentu saja ingin membuat cerita yang menarik dan disukai pembaca, dan pemaparan kebahagiaan tokoh utama dari awal sampai akhir cerita bukanlah suatu hal yang menarik. Cerita yang menarik biasanya menceritakan perjuangan dan penderitaan yang diakhiri dengan kebahagiaan si tokoh utama, atau bisa selang-seling, menderita bahagia menderita bahagia ….. bahagia, yang paling penting ujungnya bahagia, karena kebanyakan pembaca tentu saja menginginkan happy ending story.

Menurut Saya penulis Buku yang baik, adalah penulis yang jujur dan menggunakan hati nuraninya. Dia tidak terlalu peduli apakah cerita ini akan disukai orang yang membacanya atau tidak. Dengan begitu akan terlahir sebuah cerita yang manusiawi, wajar, dan sangat realistis, bukan melodrama yang didramatisir secara berlebihan, seperti kebanyakan cerita yang disajikan di acara televisi kesayangan mayoritas Ibu RT(termasuk Ibu Saya) dari pukul 6-10 malam. Karena sejatinya yang menjadi perhatian baginya bukanlah malang atau baiknya nasib yang menimpa suatu tokoh, tetapi bagaimana si tokoh tersebut menyikapi nasib yang dijalaninya. Sebuah cobaan yang tidak mengenakan apabila dijalani si tokoh dengan sikap yang manusiawi dan wajar dalam hal ini sabar dan ikhlas tentu saja akan menimbulkan semangat dan kebahagiaan tersendiri kepada pembacanya bukan sebuah ratapan yang mendayu-dayu, yang kadang-kadang dihubung-hubungkan dengan kemalangan yang sedang dideritanya. Begitu juga dengan kebahagiaan bila disikapi dengan manusiawi dan wajar dalam hal ini bersyukur dan bahagia tanpa berlebihan, tentu saja akan membawa pembaca untuk lebih menyadari apa yang telah diperolehnya saat ini, bukan menjebak pembaca dalam khayalan kebahagiaan yang terlalu tinggi.

Tidak seperti menulis Buku biasa, si penulis tahu kapan cerita itu akan berakhir, penulis buku kehidupan tidak pernah tahu kapan cerita ini berakhir, mungkin cerita yang sedang ditulis dan dijalaninya ini barulah lembaran awal buku, atau mungkin juga halaman terakhir dari buku tersebut. Sebagai penulis cara terbaik adalah menulis dengan sepenuh hati seolah-olah Dia berada pada lembar akhir buku. Jikalau sekarang memang lembaran terakhir, ya setidaknya ceritanya ditutup dengan sebuah makna, dan jika bukan, tentu saja akan lebih baik, karena setiap lembar buku akan diisi dengan makna.

kebetulan

semoga kedepannya makin banyak kebetulan baik (baca:keberuntungan) yang menyertai …..

Akhir-akhir ini di bulan Ramadhan, kita disuguhkan iklan-iklan baru, yang memang dibuat khusus untuk bulan Ramadhan. Diantara iklan-iklan tersebut, ada satu iklan yang menarik perhatian, yaitu iklan perusahaan provider telekomunikasi. Entah mengapa rasanya kurang setuju dengan salah satu pesan yang disampaikan pada iklan tersebut.

Jadi ceritanya, pada iklan tersebut ada sekelompok pemuda (laki2 semua) yang sering kongko-kongko tidak jelas dan sia-sia. Pada bulan puasa pun disaat yang lainnya tarawih mereka tetap menjalankan kebiasaan mereka itu. Suatu ketika disaat mereka kongko, Pak Haji dan anaknya (yang ini perempuan) lewat di depan mereka. Salah satu pemuda tersebut ternyata punya hati terhadap anak Pak Haji. Singkat cerita akhirnya dia tobat, kemudian mengganti RBT nya dengan lagu religi.

Yang mengganjal sebenarnya adalah alasan/niat pemuda itu bertobat. Pada iklan tersebut seolah2 yang menjadi alasan utamanya adalah anak Pak Haji. Kalau seperti itu niatnya, bagaimana bila akhirnya si pemuda tadi tidak berhasil untuk mendapatkan hati anak Pak Haji, mungkin saja dia akan menyalahkan penciptanya, tidak jadi bertobat dan kembali kongko2 bersama teman-temannya.

Sebenarnya bukan tobat saja tapi semua bentuk ibadah harus didasari dengan niat ikhlas kepada Khalik. Ibadah ini pun artinya luas, tidak hanya ibadah yang sifatnya vertikal (solat, puasa,dll), tetapi juga yang horizontal (membantu teman, mengerjakan TA, makan, belajar, tidur, dll).

Jadi menurut Saya iklan tersebut bisa memberikan persepsi yang salah bagi yang melihatnya, apalagi iklan tersebut ditayangkan pada prime time bulan Ramadhan (sebelum maghrib), semakin banyak saja yang melihatnya. Seharusnya iklan yang disajikan di Bulan Ramadhan bisa memberikan pesan dengan unsur da’wah yang disertai unsur komersil juga tentunya.

“Maaf untuk yang tidak berkenan, hanya ingin berbagi, karena sudah menjadi kewajiban manusia untuk berda’wah dan saling mengingatkan”

Siang pada hari Minggu 28 September 2008, tidak ada yang istimewa pada siang itu, lumrahnya siang di Jakarta matahari bersinar sangat terik, udara pun terasa panas dan lembab. Kondisi cuaca seperti ini yang membuat orang malas untuk keluar dari rumah, apalagi sekarang adalah bulan puasa, dan tentu saja hal paling menyenangkan untuk dilakukan di siang bulan puasa adalah membaringkan diri sambil menonton TV.

Pukul 11.55 adzan berkumandang, bersahutan-sahutan antara masjid yang satu dengan masjid yang lainnya, dilantunkan dengan sangat indah oleh muadzin dengan tujuan menyeru para umat Islam untuk menunaikan salat. Dengan perasaan sedikit malas Saya memaksakan diri ini untuk beranjak dari perbaringan dan segera pergi ke Masjid. Perjalanan dari rumah ke Masjid ditempuh dalam waktu antara 2-3 menit, cukup dekat memang dan Saya sangat bersyukur tinggal dekat dengan masjid, karena tidak memerlukan usaha yang besar untuk pergi ke masjid, namun di satu sisi juga menyesal karena katanya pahala pergi ke masjid sebanding dengan jumlah langkah yang kita keluarkan.

Setelah qomat dikumandangkan para ma’mun bergegas menuju shaf terdepan. Ketika berjalan untuk berlomba mendapatkan shaf terdepan pandangan mata Saya terarah ke pojok kanan depan masjid, di situ tergelatak kurung batang berisi mayit yang siap untuk disolatkan. Biasanya solat mayit dilakukan setelah solat wajib. Lima menit setelah salat dilaksanakan beberapa jamaah dan kerabat almarhum mengangkat kurung batang dan meletakannya di tengah-tengah masjid. Walaupun Saya tidak bisa salat mayit namun Saya ikut menyolatkan mayit tersebut, ya sebenarnya Saya malu terhadap diri sendiri sudah setua ini belum bisa salat mayit, padahal salat ini hukumnya fardu kifayah. Bagaimana nanti apabila Saya dipanggil olehnya, mengharapkan orang lain menyolatkan Saya padahal diri sendiri tidak bisa salat mayit.

Hinggap perasaan aneh ketika kita melihat fenomena kematian. Sedih dan merasa kasihan kepada almarhum dan keluarga yang ditinggalkan, itulah perasaan yang mendominasi, setidaknya itu yang Saya rasakan sampai beberapa tahun yang lalu. Namun beberapa tahun ini penyebab rasa sedih itu berubah, biasanya rasa itu disebabkan karena perpisahan almarhum dan keluarga untuk selamanya, sekarang perasaan itu disebabkan karena menyadari betapa belum siapnya diri ini menghadapi kematian. Terkadang diri ini masih terjebak pada perbuatan maksiat, menghabiskan waktu dengan perbuatan sia-sia, melaksanakan salat diakhir waktu ketika dalam keadaan sibuk, dan apabila berbuat baik pun terkadang tidak didasari dengan niat yang tulus, ya Allah ampunilah hambamu ini.

Ada satu hal yang pasti kita ketahui dan satu hal yang tidak pasti kita ketahui. Hal pertama adalah kematian dan hal yang kedua adalah waktu kematian itu. Walaupun umur sesorang sudah ditentukan namun kita tidak pernah mengetahui kapan malaikat izrail menjemput kita. Teramat sombong orang yang menganggap esok pasti masih ada. Sebagai manusia kita memang harus berencana agar waktu yang diberikan dapat termanfaatkan dengan baik, namun jangan lupa menyertakan frase “jikalau esok masih ada” dalam perencanaan kita.

Sesungguhnya hal paling berharga adalah waktu karena kita tidak pernah dapat menambahnya dan selalu berkurang detik demi detik, waktu merupakan amanat dari Allah S.W.T. dan akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Oleh sebab itu ya Allah lindungilah hambamu ini dari perbuatan sia-sia dan jadikan sisa-sisa detik ku di dunia ini bermakna…..

Baru saja Saya menonton salah satu film favourite, brave heart. Walaupun bukan untuk pertama kalinya, Saya masih bisa menikmati film ini (ya iyalah namanya juga film favourite). Film ini mengisahkan tentang pejuang skotlandia di era akhir 1200-an yang menuntut kemerdekaan negaranya atas Inggris.

Mungkin cerita filmnya standard seperti film2 epic lainnya, namun Mel Gibson membuat film ini menjadi tidak biasa, moralnya sangat terasa, bagi yang pernah menonton mungkin bisa merasakannnya sendiri.

Nama pejuang itu adalah Willian Walace. Bapak dan kakaknya meninggal dalam peperangan melawan Inggris ketika dia masih kecil, dan semenjak saat itu dia dirawat pamannya, bertahun-tahun kemudian dia kembali ke kampung halamannya, awalnya dia cuma berniat untuk menjadi petani, berkeluarga dan hidup bahagia, namun ketika istrinya dibunuh serdadu Inggris, dia menyadari kebahagiaaan sebenernya baru bisa didapat ketika kemerdekaan itu telah dicapai. Singkat cerita ia berhasil memenangi beberapa peperangan dan mengusir tentara Inggris dari Skotlandia, bahkan dia berhasil menguasai kota terbesar di Inggris Utara, kalo g salah namanya YORK. Setelah kejadian itu raja Inggris menawari gencatan senjata dengan imbalan Wallace akan diberikan tanah di Inggris dan satu peti emas. Namun bagi dia kehormatan dan rakyat adalah segalanya. Tapi, akhirnya karena penghianatan temannya sendiri, semua perjuangan heroiknya berkahir, Ia ditangkap dan dihukum mati. Kematian Wallace melecut semangat para pejuang skotlandia lainnya, sampai akhirnya berhasil memperoleh kemerdekaan pada 1314.

Hal yang paling sangat menyentuh adalah, ketika Wallace di hukum mati. Jadi hukuman matinya bukan sembarang hukuman mati, dia harus disiksa dulu sebelum mati, yang paling parah tuh ususnya dan organ-organ lainnya dikeluarin dari badan. Sebenernya Wallace bisa langsung dihukum pancung asalkan mengakui kesalahannya dan berjanji setia kepada raja, namun Ia memilih disiksa demi mempertahankan keyakinannya dan kesetiaannya kepada negaranya. dan “FREEDOM” adalah kata-kata terakhir yang Ia ucapkan sebelum kepalanya dipancung.

Ada satu kalimat menarik tentang merdeka yang redaksi aslinya Saya lupa, tapi intinya adalah kita belum merdeka ketika hati kita belum merdeka. Ketika masih ada ketakutan dan kekhawatiran dalam diri kita, berarti kita belum merdeka, intinya kita harus meyakini hati nurani kita, terkadang kita masih terpengaruh orang lain dan memilih sesuatu tidak berdasarkan hati nurani tetapi berdasarkan apa yang dianggap sebagian orang benar, walaupun itu belum tentu benar, kita masih terlalu takut untuk mempertahankan pendapat hati nurani kita yang bertentangan dengan pendapat mayoritas. Dalam film ini Wallace tetap pada pendiriannya untuk memberontak, walaupun para bangsawan lain memilih tunduk kepada kerajaan Inggris. Banyak bangetlah pesan moral bagus yang bisa di dapat dari film ini. Bagi yang belum nonton sangat disarankan untuk menonton film ini.

7 Desember 11.00 PM

2 kekalahan dalam satu hari

Ga tau hari ini harus seneng apa kecewa, seneng karena bisa sedikit bernafas setelah hampir semua (masih ada tiga lagi implementasi SI, makalah MI, essay PKI) deadline tugas terlewati, kecewa karena HMIF kalah dari KMPN dan tim merah putih kalah dari Thailand,implikasinya ga lolos ke semifinal.

Ya lagi-lagi untuk kedua kalinya(diitung semenjak gw masuk IF) tim HMIF tidak lolos ke playoff GBS. Gw mo minta maaf kepada teman-teman yang sudah merelakan waktunya untuk menonton tim IF, kami tidak dapat memberikan yang terbaik buat teman-teman, semoga tidak bosan menonton kami. Sebenarnya pertandingan cukup berjalan imbang sampai quarter 2, walaupun awalnya tertinggal kami dapat menyamakan kedudukan, namun diawal quarter 3 kami kecolongan, yang awalnya tertinggal 2 bola (17-13), hanya dalam beberapa menit PN unggul 5 bola(26-13). skor akhir pertandingan ini 31-20(kalo g salah) untuk PN.

Setidaknya ada 2 hal menarik dalam pertandingan tadi. Pertama gw mencetak point pertama di GBS,cie2,fufufufu…. kedua gw reunian sama sahabat SD gw, anak PN, namanya Hamka. Walaupun dah sering ketemu di ITB, tapi moment GBS ini cukup spesial, ya ga kebayang aja, 10 tahun lalu kita maen bola bareng becek2an di lapangan SD, sekarang maen basket bareng di tengah2 mhs ITB. Kita emang sahabatan waktu SD, tiap hari Sabtu pasti main ke rumah dia atau gw atau 2 sahabat gw yang lain(yang satu di UI satu lagi di UIN), tapi dulu maennya bukan basket tapi bola sepak, dan kita emang sama-sama jago maen bola, kalo ngadu sama kelas lain atau SD lain kita selalu jadi andalan di lini depan, inget banget tuh dulu gw diajarin tedangan pisang. Jadi kalo mo nendang pisang, yang ditendang pinggiran bola dan nendangnya harus disayat dengan kecepatan yang maksimum, jadi yang penting bukan keras tapi cepat, coba aja kalo ga percaya(eith2 tapi tunggu dulu jangan dicoba sekarang, nanggung nih dikit lagi). Nah, Kita terpisah waktu SMP, dia masuk muhamadiah(DOS-Q) gw masuk SMPN 48, SMA juga ga bareng, dia LabSky gw SMAN 78, baru di ITB ketemu lagi.

Abis main basket langsung balik, makan dan nonton Indonesia Thailand. Dan sayangnya kita kalah 2-1, malangnya lagi ga lolos ke semifinal, makin kesini makin ancur aja PSSI hah…. padahal yang gw denger gaji pemain bola di Indonesia lebih gede dibanding di Thailand, dan seharusnya kualitasnya juga lebih baik dong. katanya gaji pemain bola top liga jarum itu bisa sampai puluhan juta lho. K’lo dipikir-pikir enak juga jadi atlit, kerjanya bener-bener sesuai sama hobi. dan sebagai mahasiswa IF apakah gw juga harus menjadikan coding sebagai hobi baru gw, keren juga c kalo ngisi biodata pas ngentri hobi nulis koding, hehehe tapi kayanya ga mungkin, walaupun begitu gw terus berusaha menyenangi hal tersebut, karena inilah jalan yang udah gw pilih, menjadi mahasiswa Informatika ITB.

Well,cukup sekian dulu, harus pergi ke pulau kapuk, karena besok harus bangun pagi.

11.30 PM

Hmm,, saya mengawali tulisan saya ini dengan satu pertanyaan “Untuk apa kita hidup?”. Pertanyaan yang mendasar, tapi banyak orang yang bingung ataupun keliru untuk menjawab pertanyaan ini. Walaupun kebenaran dari pertanyaan ini relatif, tetapi saya memiliki pemikiran sendiri yang akan saya tuangkan pada tulisan ini.

Kenapa kita terpilih untuk dilahirkan. Bayangkan saja diantara jutaan sperma yang berlomba-lomba untuk membuahi sel indung telur hanya satu yang menjadi pemenang, dan itu diri kita sendiri, “how lucky we are”. Sekali lagi kenapa kita yang dipilih, semua itu jelas punya tujuan.

Kita telah ditakdirkan Allah menjadi manusia, seorang khalifah bagi dirinya sendiri dan juga alam ini. Suatu amanah yang sangat berat, bahkan gunung dan langit sekalipun menolak ketika diminata Allah untuk dijadikan khalifah di bumi ini. Selain itu manusia juaga diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan mencari ridho sang khalik tersebut. Dua point itulah yang mau saya angkat dalam tulisan saya ini.

Khalifah atau dalam bahasa Indonesia Pemimpin yaitu, dalam pengertian awam, orang yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang dipimpinnya. Pengertian itu mengimplikasikan bahwa kita bertanggung jawab atas diri sendiri dan lingkungan sekitar. Coba direnungkan sudah seberapa baik diri kita dan sudah seberapa beres lingkungan sekitar kita. Banyak diantara kita hanya peduli pada dirinya sendiri dan kurang peduli dengan orang lain, sebagian mereka beralasan bahwa diri sendiri saja belum benar sudah mau mengatur orang lain. Anggapan yang menurut saya salah, saya berpikir 2 hal (memperbaiki diri sendiri dan memperbaiki lingkungan sekitar) tersebut harus dilaksanakan secara bersamaan, klo menunggu untuk memperbaiki diri baru peduli terhadap orang lain, saya rasa kita tidak akan pernah punya kesempatan untuk peduli kepada orang lain. Ya pikirkan saja tidak ada parameter yang baku untuk mengukur kualitas seseorang, bisa saja orang yang sudah cukup berkualitas menganggap dirinya tidak berkualitas, selain itu kualitas seseorang itu bersifat fluktuatif, dengan alasan itu predikat baik pada diri sendiri tidak perlu dijadikan prasyarat untuk peduli dan berkontribusi terhadap orang lain.

Pada dasarnya manusia memiliki keinginan untuk diperhatikan, untuk itulah tidak perlu ragu untuk sama-sama saling mengingatkan, apabila ini dilakukan sesuai dengan proporsinya akan tercipta suatu hubungan yang saling menguntungkan dan secara tidak langsung mengakrabkan hubungan antar personal di dalam suatu komunitas.

Untuk alasan kedua saya mengutip ayat Azzariyat:56 , “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku”, dari ayat diatas jelaslah bahwa manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Tuhan. Konteks beribadah ini sangat luas, bukan hanya melingkupi ibadah vertikal saja, tetapi juga horizontal. Banyak  yang terjebak dalam konteks berpikir bahwa yang namanya beribadah adalah ibadah yang berhubungan langsung dengan tuhan atau biasa disebut dengan ritual, bagi orang Islam contohnya solat, puasa, berzakat. Ibadah tidak hanya itu saja, semua aktifitas yang kita lakukan memiliki nilai ibadah, menuntut ilmu, bersosialisasi, mengerjakan tugas, bahkan hal kecilpun seperti mandi ataupun tidur dapat memiliki nilai ibadah. Hanya satu hal yang menjadikan aktifitas kita memiliki nilai ibadah yaitu niat, coba kita renungkan kembali apa yang menjadi niat kita ketika melakukan semua hal tersebut. Contoh, sebagai mahasiswa informatika,yang kehidupannya selalu dipenuhi dengan tubes, apa tujuan kita mengerjakan tugas-tugas tersebut? Sangat disayangkan apabila tujuan kita hanya nilai, ada hal lain yang jauh lebih berharga dari itu semua. Niat disini juga berpengaruh pada penyikapan kita terhadap hasil dari aktiftas yang kita lakukan, dengan niat yang berorientasikan hasil bisanya akan muncul sikap menyalahkan diri sendiri, merasa tidak mampu apabila hasil yang kita peroleh tidak sebanding dengan usaha yang kita lakukan dan sikap-sikap tersebut kemungkinan besar akan berujung pada keputusasaan. Berbeda apabila niat kita ikhlas untuk beribadah kepada 4JJ, dengan niat seperti itu kita memiliki anggapan bahwa semakin besar usaha yang kita lakukan semakin besar nilai ibadah yang kita terima, tetntu saja anggapan ini akan meningkatkan kinerja kita dalam melakukan aktifitas tersebut dan walaupun nantinya hasil yang kita peroleh tidak sesuai dengan harapan kita, kita tidak akan terjebak di dalam keputusasaan, karena nilai yang jauh lebih besar sudah kita dapatkan melalui proses kerja keras yang telah kita lakukan.

Jadi idealnya hidup ini harus diwarnai dengan berbenah diri dan berkontribusi, kemudian jangan lupa semua itu harus dilandasi dengan niat ikhlas untuk beribadah dan mengharap rido darinya.